Senin, 29 Januari 2018

Kisah pilu: 2 Januari 1942, saat adzan terakhir berkumandang di Bumi Andalusia, Spanyol

Kisah pilu:  2 Januari 1942, saat adzan terakhir berkumandang di Bumi Andalusia, Spanyol
Tepat sholat isya pada malam 2 September 1942 M, di Menara Masjid Bayazin Granada inilah untuk terakhir kalinya azan di Kumandangkan secara lantang d Bumi Andalusia.
Kilas balik
Pada tahun 771 M, umat islam  mulai memasuki semenanjung Iberia atau spanyol dan portugal sekarang, dengan misi mengakhiri kekuasaan tiran, raja Roderick. Umat islam dibawah kepemimpinan Thariq bin Ziyad menyeberangi lautan yang memisahkan maroko dan daratan spanyol. Tujuh tahun kemudian, sebagian besar wilayah semenanjung Iberia atau Andalusia berhasil diduduki oleh umat Islam. Dan kekuasaan tersebut berlanjut selama lebih dari 700 tahun.
Pada tahun 900-an M, Islam mencapai puncak kejayaannya ditanah Andalusia. Lebih dari 5 juta muslim tingal di daerah tersebut, dengan persentase mencapai 80% penduduk. Kerajaan yang kuat kala itu, Dinasti Umayah II menjadi penguasa tunggal di daerah tersebut dan menjadi  kerajaan yang paling maju dan paling stabil kondisi sosialnya di daratan Eropa.
Granada dibawah kekuasaan Islam saat itu merupakan kota yang bersinar terang karena kemilauan cahaya kemajuan Ilmu pengetahuan ketika kota-kota besar lain d Eropa masih terkungkung dengan Kegelapan.
Namun, masa keemasan sosial dan politik ini tidaklah abadi. Pada tahun 1000-an M, kerajaan Andalusia ini runtuh dan terpecah-pecah menjadi negara kecil yang disebut tha-ifah.
Satu persatu tha-ifah jatuh oleh kerajaan Kristen Eropa . dimulai dari tahun 1000-an hingga tahun 1200-an, kota-kota utama semisal Cordoba, sevilla, Toledo bergiliran di kuasai. Dan hanya menyisakan Granada.
Pada era tersebut, tahun 1200-an, Granada sempat berhasil menghidarkan diri dari penaklukkan kerajaan-kerajaan Eropa. Setelah jatuhnya Cordoba, Granada menyepakati perjanjian dengan kerajaan Castile, salah satu kerajaan kristen yang terkuat di eropa. Perjanjian itu berisikan ketundukan Granada dengan membayar upeti berupa emas kepada kerajaan Castile setiap tahunnya. Timbal balik, Castile menjamin independensi Granada dalam urusan dalam negeri mereka dan lepas dari ancaman invasi Castile.
Selain membayar upeti, faktor lain yang membantu Granada terhindar dari penaklukkan adalah letak geografisnya. Kerajaan ini terletak di kaki pegunungan Sierra Nevada yang menjadi benteng alami melindungi kerajaan dari invasi pihak-pihak luar.
Granada tidak bisa menghindari takdirnya
Selama lebih dari 250 tahun, Granada tetap tunduk kepada Castile dengan membayar upeti. Namun, dikelilingi oleh kerajaan kristen yang tidak bersahabat tetap saja membuat Granada dalam keadaan terancam. Mereka tidak pernah aman dari ancaman panakluk.
Suratan takdir tentang keruntuhan Granada pun dimulai, ketika Raja Ferdinand dari Aragon menikan dengan putri Isabella dari Castile. Pernikahan ini menyatukan dua kerajaan terkuat di semenanjung Iberia yang merajut cita-cita yang satu, menaklukkan Granada dan menghapus jejak-jejak islam di Benua Biru.
Pada tahun 1491, Granada dikepung oleh Pasukan-pasukan kerajaan Raja Ferdinand dan Ratu Isabelle. Dari menara istananya, Sultan Muhammad Melihat pasukan Kristen dalam jumlah yang besar telah mengepung dan bersiap menyerang Granada. Sultan Muhammad pun dipaksa untuk menandatangani surat penyerahan Granada kepada pasukan Sekutu Kristen. Peristiwa ini terjadi pada November 1491.
Pada tanggal 2 Januari 1492, pasukan kristen memasuki kota Granada. Pasukan-pasukan ini memasuki istana Alhambra, mereka memasang bendera-bendera dan simbol-simbol kerajaan Kristen Eropa di Dinding-dinding istana sebagai tanda kemenangan. Dan di menara tertinggi istana Alhambra mereka pancangkan bendera salib agar rakyat Granada   mengetahui siapa penguasa mereka sekarang. Keadaan saat itu benar-benar mencekam, rakyat muslim Granada tidak berani keluar dari rumah-rumah mereka dan jalanan pun lengang dari hiruk-pikuk manusia. Umat islam hanya dua pilihan; masuk kristen atau dibunuh.
Tepat shalat isya, pada malam 2 Januari 1492 M, di menara Masjid Bayazin Granada inilah untuk terakhir kalinya azan di Kumandangkan secara lantang di Bumi Andalusia. Itulah akhir dari peradaban islam di Spanyol yang telah berlangsung lebih dari tujuh abad lamanya. Cahaya islam menghilang dari daratan tersebut dengan terusir dan tewasnya umat islam di sana, kemudian diganti dengan pendatang-pendatang kristen yang menempati wilayah tersebut.

Sumber lostislamichistory.com, kisahmuslim, FB

Kamis, 04 Januari 2018

Ekspedisiku di tanah Malaqbi, Mandar Sulawesi Barat


“An Holistic Vision; Ekspedisiku di tanah Malaqbi”
Oleh : Arbi Hamzah



Pagi – pagi sekali, aku dibangunkan oleh kicauan burung – burung yang begitu merdu yang agaknya sedang bermain – main dengan kawanannya, atap rumahku yang terbuat dari seng Aluminium itu menjadi saksi, bagaimana kaki – kakinya yang mungil menghentak riang tanda menanti mentari pagi yang siap menyinari jagad semesta, rasa kantukku yang begitu hebat pagi itu belum mampu mengalahkan keceriaan burung-burung nan mungil itu dengan kicauannya yang merdu, yang mungkin titisan dewa pagi untuk membangunkanku. Namun pagi itu pantulan sinar sang mentari dari balik jendela membuatku berpikir dua kali lagi untuk bermalas – malasan di singgasanaku.
“brrrrrrr" dingin pagi itu membikin bulu kudukku merinding, lalu aku meraih notebookku yang masih tercas karena semalam aku kerja proposal skripsi yang membikin kepala enyut-enyut, ditambah cerita narasi pengalaman selama ikut kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya. Aku kini kembali bergelut dengan status mahasiswaku di kampus merah di negeri para karaeng di kota daeng makassar. Meskipun baru sehari usai mengikuti kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya di Pulau Popoongan Propinsi Sulawesi Barat, yang dikenal dengan tanah Malaqbinya itu.
Hari ini, aku kembali bernostalgia bak pepatah mengatakan ‘bagaikan punuk merindukan sang rembulan’. Aku senyum cengar – cengir sendiri di kamar membayangkan bagaimana keseruan dari kegiatan ENJ kemarin, banyak suka, duka dan cinta terselimuti selama mengikuti kegiatan pengabdian ini, entah bagaimana memulainya. Tapi yang jelas aku mau flashback, ceritakan ke para pembaca yang budiman.
Well good readers,,,. Melalui tulisan nan singkat ini, rasanya Penulis akan memerlukan banyak waktu untuk menggambarkan dan menceritakan semua hal tentang ENJ tahun 2017 ini. Namun, penulis akan memulai dari prosesi dapat informasinya sampai lika – liku yang penulis harus tempuh untuk melengkapi semua persyaratan yang serba formalitas. Tapi yang jelas semuanya terbayarkan sudah, berbanding lurus dengan cerita  yang aku peroleh ini. Teman dan kawanan baru, pengalaman bercampur haru biru, cerita baru, motivasi, kepedulian, keprihatinan, kepekaan sosial dan masih banyak lagi lainnya.
Kegiatan ENJ ku di tanah malaqbi ini menjadi satu dari sekian banyak pengalaman yang berbekas dan tidak mudah untuk dilupakan dan begitu manis untuk di kenang.
Well, aku bernama Arbi Hamzah, oleh kerabat, teman, sahabat dan orang yang udah known me deepest closer biasa memanggil aku Arbhy, saat ini aku tengah menempuh pendidikan di salah satu Universitas yang ada di Makassar, tepatnya di Universitas Hasanuddin dengan mengambil konsentrasi departemen Ilmu hubungan Internasional sebagai background my diciplinary in skills. Aku suku asli bugis - pattinjo, yang bermukim di pesisir barat sulawesi tepatnya di kabupaten pinrang, kecamatan duampanua, kelurahan data lebih tepatnya di lingkungan ujung baru kappe.
Berbicara mengenai pantai, mungkin agaknya udah khatamlah ‘makan garamnya’ seputaran ini. Topografi daerahku memang berada di daerah pesisi thus hal-hal yang berbau sailing atau pake perahu atau kapal sudah hal yang biasa. 
Masih begitu terasa segar rasanya diingatan, bagaimana rasa penasaranku dengan kegiatan ini mampu mengalahkan logika berfikir rasional. Bermodalkan hanya dengan rasa penasaran dan semangat, aku taklukkan semua rasa takut yang kerap menghampiriku untuk ikut berpartisipasi dan ambil bagian dalam kegiatan ENJ tahun 2017 ini.
Tapi satu hal yang aku syukuri adalah aku bisa lulus dan dipilih oleh pusat kemenko bidang kemaritiman RI untuk mengabdikan diri dimasyarakat pulau yang mungkin masuk dalam kawasan 3T. Bisa dikatakan perjuanganku agar bisa lulus terbayarkan sudah dengan pengalaman yang begitu luar biasa yang aku dapatkan melalui kegiatan ini.
Sempat terfikirkan kemarin, untuk tidak ikut berpartisipasi dan melengkapi berkas alias mundur, karena beberapa hal seperti persiapan untuk Kuliah Kerja Nyata terus ada kegiatan keorganisasian di kampus yang agaknya ‘sayang’ kalau di tinggalkan. Belum lagi tugas perkuliahan yang biarpun agaknya ‘santai’ tapi nanggung kalau di biarkan sampai bertumpuk. Takut dikejar deadline makanya harus dipersiapkan lebih awal.
Alhasil, untuk memenej itu semua, aku kerjakan semua pake teori manajemen ala J. Terry, serta skala prioritas dan gak prioritas.
Tapi, bukan namanya Arbhy kalau untuk urusan lengkap melengkapi berkas, langsung down alias mundur. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya di makassar namun aku juga belum beruntung mendaptkan surat keterangan berbadan sehat dari dokter. Alhasil, di hari weekend aku rencana mau mudik ke kampung halamanku di kabupaten pInrang. Di Puskesmas Kelurahan Ma’rang Kabupaten Pangkep-lah yang menjadi sasaran empukku menuntaskan persyaratan untuk surat keterangan berbadan sehat dari dokter. Lama saya bersahutan mulut dengan si dokter yang manis, alasan membuat surat itu menjadi perbincangan awal hingga bercabang sampai si dokter bilang bahwa dia sudah nikah.. hahaha
Sekitar pukul 09. Usai aku Dhuha-an (bukan maksud riya’-loh), smartphone ku berdering lalu aku segera meraihnya dan terlihat di layar panggilan masuk dari nomor baru. Dengan sigap aku langsung menerima panggilan tersebut. Dan waktu itu adalah kali pertama kak salam sebagai leader memperkenalkan diri, dan menyatakan tentang kesediaanku untuk mengikuti kegiatan ENJ ku di tanah malaqbi. Lama kami bersahutan mulut yang pada intinya ucapan selamat untuk partisipasi di kegiatan ini. besides, ajakan kak salam sebagai leader meminta kesediaan apakah bersedia untuk partisipasi atau tidak hingga pada pernyataanku may be gak bisa full bantu-bantu soalnya lagi Community Services.
Sehari sebelum keberangkatan ke Majene, Sulawesi barat by my Spacy. (Spacy itu motor aku oh yaaa..) Setelah memastikan semuanya sudah siap. Aku langsung berangkat dari Makassar ke Pinrang dengan mengambil waktu kira – kira 6-7 jam perjalanan.
Demi untuk mendapatkan pengalaman mengabdi di masyarakat pulau, Pagi – pagi sekali sekitar pukul 06 tanggal 19 September 2017 aku berpamitan kepada kedua orangtuaku untuk siap mengabdi kepada masyarakat yang ada di pulau, sambil doa ibuku yang terus di panjatkan agar aku bisa selamat sampai tujuan dan dapat kembali dengan keadaan sehat wal – afiat.
Kali pertama ke propinsi sulawesi barat ditemani motor Spacy Honda merahku, tak tahu arah dan lokasi tempat berkumpul sebelum bertolak ke Mamuju. Aku hanya mengandalkan smartphone dan mengikuti setiap instruksi yang diberikan oleh leader melalui social media. Alhasil, pukul 09 lebih aku sudah tiba di majene dan langsung ke sekret sembari menunggu yang lainnya, saya mengitari daerah majene melihat bagaimana majene yang dulu bagian dari propinsi sulawesi selatan kini berbenah dan membangun sebagai salah satu kabupaten dalam lingkup propinsi sulawesi barat.
Ada perasaan kurang sedap menyelimuti diri ini, sesampainya di Majene. Entah mengapa semua hal yang aku takutkan baru hinggap di kepala. Orang-orang baru, suasana baru yang memaksaku untuk menjadi pribadi yang ‘sebaik mungkin’ mereka kenal on first sight. Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga bugis yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ‘respect and ashamed to others’.
Tiga hari berada di ibukota Propinsi Sulawesi barat tepatnya di Kota Mamuju, sebelum  keberangkatan ke pulau tujuan, Pulau Popoongan, kecamatan Bala-balakang. Aku mengamati bagaimana usaha ‘keras’ yang coba dibangun oleh leader Kak Salam agar kami para peserta bisa bersama dalam ikatan ‘sahabat dan keluarga’ .
Dihari yang dinanti itu, dini hari menjelang waktu shubuh ditemani dengan dinginnya cuaca, kebisingan ibu kota tanah malaqbi itu kini sayup-sayup. Aku dan peserta lainnya menerobos ‘dinginnya suasana’ ditengah jalan protokol dengan mobil bak terbuka, tiba di pelabuhan, menurunkan barang-barang keperluan dan titipan untuk masyarakat pulau. Hingga adzan shubuh berkumandang aku dan Kak wandy (kak wandy adalah salah satu peserta ENJ orang mandar, kini studi di program magister Hubungan Internasional Universitas Airlangga) mencari asal panggilan ilahi yang  merdu itu. Ingin ku tempelkan dahi ini, berharap perjalanan kami selamat sampai tujuan dan pulang dalam keadaan sehat wal-afiat.
Seperti pesan rasulullah, ketika hendak melaksanakan perjalanan, Maka, koordinator lapangan pada saat itu adalah kak Imam, tiba giliranku untuk bersiap naik ke kapal.
Kumantapkan azamku dalam hati ‘bismillahi arahman arrahim’ semoga perjalanan ‘kebaikan’ ini mendapat ridha dan iradhat sang ilahi.
Ditengah lautan, aku terombang-ambing oleh gelombang birunya air laut, sekumpulan lumba-lumba yang berenang ‘riang’, memperlihatkan aksinya ‘bak’ menyambut kedatangan kami. Dari kejauhan nampak kota majene terlihat mengecil dan lama kelamaan menghilang ditelan kepulan asap yang memutih.
Kulirik dan kupandangi wajah-wajah peserta lain yang kini telah terlelap tidur ‘mungkin sebagian bermimpi’ disiang hari yang cuacanya panas hingga membuat kulit lebam ‘bak’ motif kuda zebra.
12 jam lebih terombang-ambing dilautan, aku dan peserta lain yang memiliki visi dan tujuan yang sama ‘mulia dalam pengabdian’ kepada masyarakat pulau. Rembulan yang bersinar terang bersama dengan seruan panggilan ilahi menjadi ‘saksi’ aku dan peserta lainnya tiba dengan selamat di pulau tujuan, bersandar di pelabuhan mahliga surga kecil dari tanah malaqbi.
Meski gelap pekatnya malam menghitam menyambut, aku masih bisa melihat keindahan pulau ini, pasir putih bak kristal yang terhampar diselimuti air laut nan bening terpancarkan cahaya bias dari rembulan. ‘alhamdulillah’ “kataku dalam hati.
‘Bahagai bukan kepalang’, meskipun kepala agaknya masih oleng, karena efek dari sailing yang bukan main lama. Kami disambut beberap anak-anak dengan muka oriental. ‘inilah keluargaku yang baru, adik-adik dengan wajah penuh antusias, aku tak sabar berbagai dengan mereka’ “pikirku dalam hati”.
On teh first sight, aku perhatikan masing-masing rumah kini sudah memiliki ‘penerang alias lampu’, yah sudah pasti dari suara mesin ‘genset’ menjadi irama yang paling mendominasi memecah keheningan malam itu ditengah laut yang begitu gelap pekat. Letak rumah warga yang satu dan yang lainnya tertata dengan begitu rapi semakin menambah ‘exotic value’ pulau itu.
Setelah membawa semua barang dan segala keperluan lainnya ke rumah pak Desa, tempat kami menginap. Melihat dipan-dipan disamping rumah warga, aku langsung merebahkan diri bersama beberap peserta lainnya, aku sudah tak sabar ingin menjelajah, melihat dan mengitari and of course sightseeing the scenery, when sunrise is appearance in that little heaven from Malaqbi land.
aku membayangkan keindahan pantai bertabur pasir putih, ditemani nyiur-nyiur pohon kelapa, ditiup angin sepoi-sepoi. Semuanya aku simpan dalam-dalam dahulu.
Seperti yang telah kututurkan pada beberapa paragraf sebelumnya, kegiatan Ekpedisi ini merupakan salah satu pengalaman berkesan. Kesannya adalah, ini adalah kali pertama dalamn 22 tahun hidupku tidur dibawah kolong rumah (rumah orang) dalam masa hampir 10 malam selama berada di pulau tersebut. Untungnya, aku tidak sendirian, ada bebarapa peserta lainnya juga. Mau protes, tapi aku gak sendirian, jadinya dibawa enjoy aja.
Malam-malam yang dingin, kulewati, nyamuk, suara-suara aneh di tengah keheningan malam. Terkadang aku terbangun ditengah malam yang gelap gulita, tak ada lampu sedikit pun. Kudengar semua orang tertidur pulas, sayup-sayup suara aneh seringkali terdengar. Namun, aku tetap terjaga ingin segera agar siang segera datang. Demikianlah malam demi malam kulalui di tengah pulau. Jujur, aku ingin cepat pulang.
Dikegiatan inilah aku berkenalan dan banyak bertukar cerita dan pengalaman dengan sosok ‘’sahabat’ yang seringkali banyak bercerita tentang kehidupannya. Aku tertegung mendengar cerita hidupnya yang begitu ‘menginspirasi’, hingga aku habiskan waktuku di pulau pengabdian ini bersama peserta yang berkuliah di magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Airlangga ini.
Suara adzan shubuh berkumandang dari arah utara, memecah keheningan dan kesunyian. Aku bergegas bangun dan menuju ke masjid. Sempat tak terfikirkan olehku, bagaimana suara ‘toa’ itu bisa hadir di tengah pulau ini. Lagi-lagi masyarakat disini, sangat bergantung kepada ‘genset’ sebagai alternatif agar bisa merasakan terangnya malam.
Jangankan untuk merasakan listrik, jaringan disini pun tak ada sama sekali. Aku serasa berada di zaman ‘tempoe doeloe’. Itu untuk hal yang bisa kita bilang hal yang sangat vital dan bagi sebagian penduduk disana adalah hal yang ‘mewah’.
Hanya ada satu sumber air, yang menjadi kerumunan ibu penduduk setempat dikala pagi dan menjelang sore hari, dan terkadang kami juga harus mengantri. Sumur itu juga kini menjadi sumber penghidupan bagi penduduk setempat, untuk masak, mencuci, dan lain-lainnya. Cerita mama petrus yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang sudah puluhan tahun bermukim dan beranak pinak di Pulau itu menuturkan bahwa sumur yang berada di tengah pulau itu sangat penting, sumur ini jugalah yang menjadi tempat biasanya aku mendengar celotehan para ibu-ibu dalam bahasa mereka.
Ada satu kejadian yang tak terlupakan pagi itu di sumur itu, aku bersama dengan beberapa peserta lainnya tengah mendengar cerita ibu-ibu yang sedang mencuci pakainnya. Dan dia berasal dari Bulukumba dan sudah lama menetap di pulau itu, dia adalah suku bugis-makassar. Dia juga banyak berkisah mengenai kurangnya perhatian pemerintah terhadap kehidupan mereka sebagai penduduk pulau. Setelah lama berkisah beliau lalu berbaik hati memberikan bebarapa helai pengharum baju ‘Molto’  dan ‘deterjen’.
Di kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya ini, ada beberapa divisi diantaranya, divisi Lingkungan, divisi Kesehatan, divisi Ekonomi Kreatif, Divisi Pendidikan. Aku ‘terdampar’ di divisi lingkungan. Padahal di essay yang aku submit sebelumnya aku memaparkan bebarapa pengalaman dan pencapaian di bidang pendidikan.
Meskipun berada di divisi lingkungan, kecintaanku kepada riuh anak-anak, wajah-wajah polosnya yang memelas dan keceriaannya. Aku habiskan separuh waktuku di pulau untuk mengajar di satu-satunya Sekolah yang ada di pulau itu, yah sekolah Dasar yang hanya memiliki 4 kelas.
Bangunan yang sudah reot, seluruhnya dari kayu, atap yang bocor, dinding yang bolong, lantainya yang lapuk yang sewaktu-waktu menelan kaki mungil anak-anak. Dan masih banyak lagi keprihatinan melihat kondisi infrastuktur di pulau itu. Melihat keadaan sekolah itu, aku serasa di bawah latar sekolah anak-anak dalam film laskar pelangi gubahan Andrea Hirata itu. Melihat semangat anak-anak pulau popoongan untuk menutut ilmu, antusiasmenya, tunjuk tangan dalam beberapa pelajaran di kelas.
Selain mengajar di sekolah, aku juga mengajar adik-adik mengaji di masjid. Aku sangat salut melihat kegigihan anak-anak yang ada di pulau popoongan itu. TAK SEPErti anak-anak yang biasa, Mereka berEbut dan bahkan biasa bertengkar hanya untuk berebut tempat terdepan, untuk diajarkan mengaji.
Aku juga sempatkan untuk snorkling alias nyelam disekitaran pulau popoongan, sungguh miris melihat keadaan coral yang rusak dan tak terawat itu, bersama dengan divisi lingkungan lainnya, melakukan transplantasi coral melalui media batu cor yang membentuk ENJ di dasar laut dekat dengan palung di pulau itu, berharap bisa menjadi rumah bagi kawanan ikan dan ekosistem biota laut yang ada di pulau itu.
Selain itu, aku dan peserta lainnya melakukan coastal cleaning, sebagai output dari keadaan pantai yang dipenuhi sampah. Miris sekaligus prihatin, marah mau meluapkan semuanya. Tapi entah sama siapa, perasaan menggebu-gebu melihat keadaan pantai yang dipenuhi sampah. Kala melihat kawanan penyu mendarat di bibir pantai di pulau itu, entah apa tujuannya, bertelur, beranak-pinak atau apalah itu. Yang jelas banyaknya sampah membikin ‘exotisme value’ pulau itu hilang seketika. Apalagi melihat sampah yang mengepuli penyu-penyu itu. mIrisss...
Dihari-hari terakhir berada di pulau, aku dan perserta lainnya menyempatkan untuk sightseeing di pulau-pulau tetangga, yang masih masuk dalam wilayah teritorial propinsi sulawesi barat. Ada dua pulau yang tak berpenghuni yang belum terjamah yang menjadi destinasi, keduanya masih sangat asri, dan sangat indah. Pantai pasir putih bak kristal yang terhampar menimbuni pesisir pantai ditemani angin sepoi-sepoi, diselimuti gelombang air laut yang tenang. Sebuah karunia ilahi yang tak ternilai harganya. Keyakinanku semakin mantap sahaja, propinsi sulawesi barat yang juga dikenal kediaman seorang ulama termahsyur Imam Lapeo, bakal menjadi surga dan destinasi bahari bagi para turis.
Dalam masa singkat berada di pulau itu, rasanya belum sepenuhnya memberikan dampak dalam jangak panjang, tapi kehadiran kami ini semoga bisa memberikan kesadaran kepada masyarakat pulau, untuk kemudian bagaimana memelihara dan menjaga keindahan dan kelestarain pulau itu.
Banyak pelajaran dan hikmah dari perjalanan ‘mulia dalam pengabdian ini’ yang penulis peroleh, kini penulis lebih cermat dalam menggunakan listrik dan air seada dan seperlunyas saja. Sebagai satu hal yang masih dianggap ‘mewah’ oleh masyarakat penduduk pulau.
Berkaca pada keadaan yang ada di Pulau Popoongan ini, yang tadinya aku tak bersemangat dalam kegiatan ENJ, yang dalam benakku  layaknya kegiatan pengabdian pada umumnya. Tapi, wajah-wajah yang penuh antusias dari anak-anak dan masyarakat pulau popoongan, kondisi sekolah, kondisi alamnya yang ‘masha allah’ indah tapi tak terawat, belum lagi kondisi lautnya, coralnya yang bisa dibilang 99% rusak dan hancur, ditambah permasalahan sampah di pesisir pantainya. Aku secara pribadi sangat prihatin melihat kondisi ini. Harapannya kehadiran kami yang terbilang cukup singkat bisa memberikan energi positif kepada masyarakat untuk memperhatikan alamnya.
Tadinya aku berpikir bahwa ini adalah pengalaman dan akhir dari kegiatan yang akan aku geluti untuk mengabdikan diri kepada masyarkat Indonesia pada uMumnya, tapi melihat kondisi bangsaku yang kian carut-marut. Aku berharap bahwa kedepannya aku sebagai generasi Indonesia  bisa berkontribusi lebih kepada bangsa ini untuk hal-hal yang lebih besar dan lebih bermanfaat lagi. Kini aku tahu, bahwa melalui kegiatan pengabdian ini. Aku kini telah belajar untuk lebih peduli sekaligus prihatin terhadap keadaan yang kian melanda bangsa-negaraku yang kian multidimensional. Terima kasih kepada Pemerintah yang semakin membikin penulis untuk semakin mencintai Indonesia, semakin ingin untuk berbuat banyak dan lebih untuk masyarakat Indonesia, semakin ingin mengabdi untuk membuat Indonesia lebih baik lagi. I love Indonesia a Lot, salam bahari, salam maritim, jalesveva jayamahe. Indonesia satu, jayalah Indonesiaku, jayalah bangsaku.


5 JUTA PERTAMA HASIL KERINGAT DI PENGHUJUNG 2021

5 juta pertama hasil keringat di penghujung tahun 2021 Tak henti-hentinya aku mengucapkan rasa syukur Usaha dan proses tidak ada yang sia-si...