“An
Holistic Vision; Ekspedisiku di tanah Malaqbi”
Oleh :
Arbi Hamzah
Pagi – pagi sekali, aku
dibangunkan oleh kicauan burung – burung yang begitu merdu yang agaknya sedang
bermain – main dengan kawanannya, atap rumahku yang terbuat dari seng Aluminium
itu menjadi saksi, bagaimana kaki – kakinya yang mungil menghentak riang tanda
menanti mentari pagi yang siap menyinari jagad semesta, rasa kantukku yang
begitu hebat pagi itu belum mampu mengalahkan keceriaan burung-burung nan mungil
itu dengan kicauannya yang merdu, yang mungkin titisan dewa pagi untuk
membangunkanku. Namun pagi itu pantulan sinar sang mentari dari balik jendela
membuatku berpikir dua kali lagi untuk bermalas – malasan di singgasanaku.
“brrrrrrr" dingin
pagi itu membikin bulu kudukku merinding, lalu aku meraih notebookku yang masih
tercas karena semalam aku kerja proposal skripsi yang membikin kepala
enyut-enyut, ditambah cerita narasi pengalaman selama ikut kegiatan Ekspedisi
Nusantara Jaya. Aku kini kembali bergelut dengan status mahasiswaku di kampus
merah di negeri para karaeng di kota daeng makassar. Meskipun baru sehari usai
mengikuti kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya di Pulau Popoongan Propinsi
Sulawesi Barat, yang dikenal dengan tanah Malaqbinya itu.
Hari ini, aku kembali
bernostalgia bak pepatah mengatakan ‘bagaikan punuk merindukan sang rembulan’.
Aku senyum cengar – cengir sendiri di kamar membayangkan bagaimana keseruan
dari kegiatan ENJ kemarin, banyak suka, duka dan cinta terselimuti selama
mengikuti kegiatan pengabdian ini, entah bagaimana memulainya. Tapi yang jelas
aku mau flashback, ceritakan ke para pembaca yang budiman.
Well good readers,,,.
Melalui tulisan nan singkat ini, rasanya Penulis akan memerlukan banyak waktu
untuk menggambarkan dan menceritakan semua hal tentang ENJ tahun 2017 ini.
Namun, penulis akan memulai dari prosesi dapat informasinya sampai lika – liku
yang penulis harus tempuh untuk melengkapi semua persyaratan yang serba
formalitas. Tapi yang jelas semuanya terbayarkan sudah, berbanding lurus dengan
cerita yang aku peroleh ini. Teman dan
kawanan baru, pengalaman bercampur haru biru, cerita baru, motivasi,
kepedulian, keprihatinan, kepekaan sosial dan masih banyak lagi lainnya.
Kegiatan ENJ ku di tanah
malaqbi ini menjadi satu dari sekian banyak pengalaman yang berbekas dan tidak
mudah untuk dilupakan dan begitu manis untuk di kenang.
Well, aku bernama Arbi
Hamzah, oleh kerabat, teman, sahabat dan orang yang udah known me deepest
closer biasa memanggil aku Arbhy, saat ini aku tengah menempuh pendidikan di
salah satu Universitas yang ada di Makassar, tepatnya di Universitas Hasanuddin
dengan mengambil konsentrasi departemen Ilmu hubungan Internasional sebagai
background my diciplinary in skills. Aku suku asli bugis - pattinjo, yang
bermukim di pesisir barat sulawesi tepatnya di kabupaten pinrang, kecamatan
duampanua, kelurahan data lebih tepatnya di lingkungan ujung baru kappe.
Berbicara mengenai pantai,
mungkin agaknya udah khatamlah ‘makan garamnya’ seputaran ini. Topografi daerahku
memang berada di daerah pesisi thus hal-hal yang berbau sailing atau pake
perahu atau kapal sudah hal yang biasa.
Masih begitu terasa segar
rasanya diingatan, bagaimana rasa penasaranku dengan kegiatan ini mampu
mengalahkan logika berfikir rasional. Bermodalkan hanya dengan rasa penasaran
dan semangat, aku taklukkan semua rasa takut yang kerap menghampiriku untuk
ikut berpartisipasi dan ambil bagian dalam kegiatan ENJ tahun 2017 ini.
Tapi satu hal yang aku
syukuri adalah aku bisa lulus dan dipilih oleh pusat kemenko bidang kemaritiman
RI untuk mengabdikan diri dimasyarakat pulau yang mungkin masuk dalam kawasan
3T. Bisa dikatakan perjuanganku agar bisa lulus terbayarkan sudah dengan
pengalaman yang begitu luar biasa yang aku dapatkan melalui kegiatan ini.
Sempat terfikirkan
kemarin, untuk tidak ikut berpartisipasi dan melengkapi berkas alias mundur,
karena beberapa hal seperti persiapan untuk Kuliah Kerja Nyata terus ada
kegiatan keorganisasian di kampus yang agaknya ‘sayang’ kalau di tinggalkan.
Belum lagi tugas perkuliahan yang biarpun agaknya ‘santai’ tapi nanggung kalau
di biarkan sampai bertumpuk. Takut dikejar deadline makanya harus dipersiapkan
lebih awal.
Alhasil, untuk memenej itu
semua, aku kerjakan semua pake teori manajemen ala J. Terry, serta skala
prioritas dan gak prioritas.
Tapi, bukan namanya Arbhy
kalau untuk urusan lengkap melengkapi berkas, langsung down alias mundur. Dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya di makassar namun aku juga belum
beruntung mendaptkan surat keterangan berbadan sehat dari dokter. Alhasil, di
hari weekend aku rencana mau mudik ke kampung halamanku di kabupaten pInrang.
Di Puskesmas Kelurahan Ma’rang Kabupaten Pangkep-lah yang menjadi sasaran
empukku menuntaskan persyaratan untuk surat keterangan berbadan sehat dari
dokter. Lama saya bersahutan mulut dengan si dokter yang manis, alasan membuat
surat itu menjadi perbincangan awal hingga bercabang sampai si dokter bilang
bahwa dia sudah nikah.. hahaha
Sekitar pukul 09. Usai aku
Dhuha-an (bukan maksud riya’-loh), smartphone ku berdering lalu aku segera
meraihnya dan terlihat di layar panggilan masuk dari nomor baru. Dengan sigap
aku langsung menerima panggilan tersebut. Dan waktu itu adalah kali pertama kak
salam sebagai leader memperkenalkan diri, dan menyatakan tentang kesediaanku
untuk mengikuti kegiatan ENJ ku di tanah malaqbi. Lama kami bersahutan mulut
yang pada intinya ucapan selamat untuk partisipasi di kegiatan ini. besides,
ajakan kak salam sebagai leader meminta kesediaan apakah bersedia untuk partisipasi
atau tidak hingga pada pernyataanku may be gak bisa full bantu-bantu soalnya
lagi Community Services.
Sehari sebelum
keberangkatan ke Majene, Sulawesi barat by my Spacy. (Spacy itu motor aku oh
yaaa..) Setelah memastikan semuanya sudah siap. Aku langsung berangkat dari
Makassar ke Pinrang dengan mengambil waktu kira – kira 6-7 jam perjalanan.
Demi untuk mendapatkan
pengalaman mengabdi di masyarakat pulau, Pagi – pagi sekali sekitar pukul 06
tanggal 19 September 2017 aku berpamitan kepada kedua orangtuaku untuk siap
mengabdi kepada masyarakat yang ada di pulau, sambil doa ibuku yang terus di
panjatkan agar aku bisa selamat sampai tujuan dan dapat kembali dengan keadaan
sehat wal – afiat.
Kali pertama ke propinsi
sulawesi barat ditemani motor Spacy Honda merahku, tak tahu arah dan lokasi
tempat berkumpul sebelum bertolak ke Mamuju. Aku hanya mengandalkan smartphone
dan mengikuti setiap instruksi yang diberikan oleh leader melalui social media.
Alhasil, pukul 09 lebih aku sudah tiba di majene dan langsung ke sekret sembari
menunggu yang lainnya, saya mengitari daerah majene melihat bagaimana majene
yang dulu bagian dari propinsi sulawesi selatan kini berbenah dan membangun
sebagai salah satu kabupaten dalam lingkup propinsi sulawesi barat.
Ada perasaan kurang sedap
menyelimuti diri ini, sesampainya di Majene. Entah mengapa semua hal yang aku
takutkan baru hinggap di kepala. Orang-orang baru, suasana baru yang memaksaku
untuk menjadi pribadi yang ‘sebaik mungkin’ mereka kenal on first sight.
Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga bugis yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai ‘respect and ashamed to others’.
Tiga hari berada di
ibukota Propinsi Sulawesi barat tepatnya di Kota Mamuju, sebelum keberangkatan ke pulau tujuan, Pulau
Popoongan, kecamatan Bala-balakang. Aku mengamati bagaimana usaha ‘keras’ yang
coba dibangun oleh leader Kak Salam agar kami para peserta bisa bersama dalam
ikatan ‘sahabat dan keluarga’ .
Dihari yang dinanti itu,
dini hari menjelang waktu shubuh ditemani dengan dinginnya cuaca, kebisingan
ibu kota tanah malaqbi itu kini sayup-sayup. Aku dan peserta lainnya menerobos
‘dinginnya suasana’ ditengah jalan protokol dengan mobil bak terbuka, tiba di
pelabuhan, menurunkan barang-barang keperluan dan titipan untuk masyarakat
pulau. Hingga adzan shubuh berkumandang aku dan Kak wandy (kak wandy adalah
salah satu peserta ENJ orang mandar, kini studi di program magister Hubungan
Internasional Universitas Airlangga) mencari asal panggilan ilahi yang merdu itu. Ingin ku tempelkan dahi ini, berharap
perjalanan kami selamat sampai tujuan dan pulang dalam keadaan sehat wal-afiat.
Seperti pesan rasulullah,
ketika hendak melaksanakan perjalanan, Maka, koordinator lapangan pada saat itu
adalah kak Imam, tiba giliranku untuk bersiap naik ke kapal.
Kumantapkan azamku dalam
hati ‘bismillahi arahman arrahim’ semoga perjalanan ‘kebaikan’ ini mendapat
ridha dan iradhat sang ilahi.
Ditengah lautan, aku
terombang-ambing oleh gelombang birunya air laut, sekumpulan lumba-lumba yang
berenang ‘riang’, memperlihatkan aksinya ‘bak’ menyambut kedatangan kami. Dari
kejauhan nampak kota majene terlihat mengecil dan lama kelamaan menghilang
ditelan kepulan asap yang memutih.
Kulirik dan kupandangi
wajah-wajah peserta lain yang kini telah terlelap tidur ‘mungkin sebagian
bermimpi’ disiang hari yang cuacanya panas hingga membuat kulit lebam ‘bak’
motif kuda zebra.
12 jam lebih terombang-ambing
dilautan, aku dan peserta lain yang memiliki visi dan tujuan yang sama ‘mulia
dalam pengabdian’ kepada masyarakat pulau. Rembulan yang bersinar terang
bersama dengan seruan panggilan ilahi menjadi ‘saksi’ aku dan peserta lainnya
tiba dengan selamat di pulau tujuan, bersandar di pelabuhan mahliga surga kecil
dari tanah malaqbi.
Meski gelap pekatnya malam
menghitam menyambut, aku masih bisa melihat keindahan pulau ini, pasir putih
bak kristal yang terhampar diselimuti air laut nan bening terpancarkan cahaya
bias dari rembulan. ‘alhamdulillah’ “kataku dalam hati.
‘Bahagai bukan kepalang’,
meskipun kepala agaknya masih oleng, karena efek dari sailing yang bukan main
lama. Kami disambut beberap anak-anak dengan muka oriental. ‘inilah keluargaku
yang baru, adik-adik dengan wajah penuh antusias, aku tak sabar berbagai dengan
mereka’ “pikirku dalam hati”.
On teh first sight, aku
perhatikan masing-masing rumah kini sudah memiliki ‘penerang alias lampu’, yah
sudah pasti dari suara mesin ‘genset’ menjadi irama yang paling mendominasi
memecah keheningan malam itu ditengah laut yang begitu gelap pekat. Letak rumah
warga yang satu dan yang lainnya tertata dengan begitu rapi semakin menambah
‘exotic value’ pulau itu.
Setelah membawa semua
barang dan segala keperluan lainnya ke rumah pak Desa, tempat kami menginap.
Melihat dipan-dipan disamping rumah warga, aku langsung merebahkan diri bersama
beberap peserta lainnya, aku sudah tak sabar ingin menjelajah, melihat dan
mengitari and of course sightseeing the scenery, when sunrise is appearance in
that little heaven from Malaqbi land.
aku membayangkan keindahan
pantai bertabur pasir putih, ditemani nyiur-nyiur pohon kelapa, ditiup angin
sepoi-sepoi. Semuanya aku simpan dalam-dalam dahulu.
Seperti yang telah kututurkan
pada beberapa paragraf sebelumnya, kegiatan Ekpedisi ini merupakan salah satu
pengalaman berkesan. Kesannya adalah, ini adalah kali pertama dalamn 22 tahun
hidupku tidur dibawah kolong rumah (rumah orang) dalam masa hampir 10 malam
selama berada di pulau tersebut. Untungnya, aku tidak sendirian, ada bebarapa
peserta lainnya juga. Mau protes, tapi aku gak sendirian, jadinya dibawa enjoy
aja.
Malam-malam yang dingin,
kulewati, nyamuk, suara-suara aneh di tengah keheningan malam. Terkadang aku
terbangun ditengah malam yang gelap gulita, tak ada lampu sedikit pun. Kudengar
semua orang tertidur pulas, sayup-sayup suara aneh seringkali terdengar. Namun,
aku tetap terjaga ingin segera agar siang segera datang. Demikianlah malam demi
malam kulalui di tengah pulau. Jujur, aku ingin cepat pulang.
Dikegiatan inilah aku
berkenalan dan banyak bertukar cerita dan pengalaman dengan sosok ‘’sahabat’
yang seringkali banyak bercerita tentang kehidupannya. Aku tertegung mendengar
cerita hidupnya yang begitu ‘menginspirasi’, hingga aku habiskan waktuku di
pulau pengabdian ini bersama peserta yang berkuliah di magister Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Airlangga ini.
Suara adzan shubuh
berkumandang dari arah utara, memecah keheningan dan kesunyian. Aku bergegas bangun
dan menuju ke masjid. Sempat tak terfikirkan olehku, bagaimana suara ‘toa’ itu
bisa hadir di tengah pulau ini. Lagi-lagi masyarakat disini, sangat bergantung
kepada ‘genset’ sebagai alternatif agar bisa merasakan terangnya malam.
Jangankan untuk merasakan
listrik, jaringan disini pun tak ada sama sekali. Aku serasa berada di zaman
‘tempoe doeloe’. Itu untuk hal yang bisa kita bilang hal yang sangat vital dan
bagi sebagian penduduk disana adalah hal yang ‘mewah’.
Hanya ada satu sumber air,
yang menjadi kerumunan ibu penduduk setempat dikala pagi dan menjelang sore
hari, dan terkadang kami juga harus mengantri. Sumur itu juga kini menjadi
sumber penghidupan bagi penduduk setempat, untuk masak, mencuci, dan
lain-lainnya. Cerita mama petrus yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yang
sudah puluhan tahun bermukim dan beranak pinak di Pulau itu menuturkan bahwa
sumur yang berada di tengah pulau itu sangat penting, sumur ini jugalah yang
menjadi tempat biasanya aku mendengar celotehan para ibu-ibu dalam bahasa
mereka.
Ada satu kejadian yang tak
terlupakan pagi itu di sumur itu, aku bersama dengan beberapa peserta lainnya
tengah mendengar cerita ibu-ibu yang sedang mencuci pakainnya. Dan dia berasal
dari Bulukumba dan sudah lama menetap di pulau itu, dia adalah suku
bugis-makassar. Dia juga banyak berkisah mengenai kurangnya perhatian
pemerintah terhadap kehidupan mereka sebagai penduduk pulau. Setelah lama
berkisah beliau lalu berbaik hati memberikan bebarapa helai pengharum baju
‘Molto’ dan ‘deterjen’.
Di kegiatan Ekspedisi
Nusantara Jaya ini, ada beberapa divisi diantaranya, divisi Lingkungan, divisi
Kesehatan, divisi Ekonomi Kreatif, Divisi Pendidikan. Aku ‘terdampar’ di divisi
lingkungan. Padahal di essay yang aku submit sebelumnya aku memaparkan bebarapa
pengalaman dan pencapaian di bidang pendidikan.
Meskipun berada di divisi
lingkungan, kecintaanku kepada riuh anak-anak, wajah-wajah polosnya yang
memelas dan keceriaannya. Aku habiskan separuh waktuku di pulau untuk mengajar
di satu-satunya Sekolah yang ada di pulau itu, yah sekolah Dasar yang hanya
memiliki 4 kelas.
Bangunan yang sudah reot,
seluruhnya dari kayu, atap yang bocor, dinding yang bolong, lantainya yang
lapuk yang sewaktu-waktu menelan kaki mungil anak-anak. Dan masih banyak lagi
keprihatinan melihat kondisi infrastuktur di pulau itu. Melihat keadaan sekolah
itu, aku serasa di bawah latar sekolah anak-anak dalam film laskar pelangi
gubahan Andrea Hirata itu. Melihat semangat anak-anak pulau popoongan untuk
menutut ilmu, antusiasmenya, tunjuk tangan dalam beberapa pelajaran di kelas.
Selain mengajar di
sekolah, aku juga mengajar adik-adik mengaji di masjid. Aku sangat salut
melihat kegigihan anak-anak yang ada di pulau popoongan itu. TAK SEPErti
anak-anak yang biasa, Mereka berEbut dan bahkan biasa bertengkar hanya untuk
berebut tempat terdepan, untuk diajarkan mengaji.
Aku juga sempatkan untuk
snorkling alias nyelam disekitaran pulau popoongan, sungguh miris melihat
keadaan coral yang rusak dan tak terawat itu, bersama dengan divisi lingkungan
lainnya, melakukan transplantasi coral melalui media batu cor yang membentuk
ENJ di dasar laut dekat dengan palung di pulau itu, berharap bisa menjadi rumah
bagi kawanan ikan dan ekosistem biota laut yang ada di pulau itu.
Selain itu, aku dan
peserta lainnya melakukan coastal cleaning, sebagai output dari keadaan pantai
yang dipenuhi sampah. Miris sekaligus prihatin, marah mau meluapkan semuanya.
Tapi entah sama siapa, perasaan menggebu-gebu melihat keadaan pantai yang
dipenuhi sampah. Kala melihat kawanan penyu mendarat di bibir pantai di pulau
itu, entah apa tujuannya, bertelur, beranak-pinak atau apalah itu. Yang jelas
banyaknya sampah membikin ‘exotisme value’ pulau itu hilang seketika. Apalagi
melihat sampah yang mengepuli penyu-penyu itu. mIrisss...
Dihari-hari terakhir
berada di pulau, aku dan perserta lainnya menyempatkan untuk sightseeing di
pulau-pulau tetangga, yang masih masuk dalam wilayah teritorial propinsi
sulawesi barat. Ada dua pulau yang tak berpenghuni yang belum terjamah yang
menjadi destinasi, keduanya masih sangat asri, dan sangat indah. Pantai pasir
putih bak kristal yang terhampar menimbuni pesisir pantai ditemani angin
sepoi-sepoi, diselimuti gelombang air laut yang tenang. Sebuah karunia ilahi
yang tak ternilai harganya. Keyakinanku semakin mantap sahaja, propinsi
sulawesi barat yang juga dikenal kediaman seorang ulama termahsyur Imam Lapeo,
bakal menjadi surga dan destinasi bahari bagi para turis.
Dalam masa singkat berada
di pulau itu, rasanya belum sepenuhnya memberikan dampak dalam jangak panjang,
tapi kehadiran kami ini semoga bisa memberikan kesadaran kepada masyarakat
pulau, untuk kemudian bagaimana memelihara dan menjaga keindahan dan
kelestarain pulau itu.
Banyak pelajaran dan
hikmah dari perjalanan ‘mulia dalam pengabdian ini’ yang penulis peroleh, kini
penulis lebih cermat dalam menggunakan listrik dan air seada dan seperlunyas
saja. Sebagai satu hal yang masih dianggap ‘mewah’ oleh masyarakat penduduk
pulau.
Berkaca pada keadaan yang
ada di Pulau Popoongan ini, yang tadinya aku tak bersemangat dalam kegiatan
ENJ, yang dalam benakku layaknya
kegiatan pengabdian pada umumnya. Tapi, wajah-wajah yang penuh antusias dari
anak-anak dan masyarakat pulau popoongan, kondisi sekolah, kondisi alamnya yang
‘masha allah’ indah tapi tak terawat, belum lagi kondisi lautnya, coralnya yang
bisa dibilang 99% rusak dan hancur, ditambah permasalahan sampah di pesisir
pantainya. Aku secara pribadi sangat prihatin melihat kondisi ini. Harapannya
kehadiran kami yang terbilang cukup singkat bisa memberikan energi positif
kepada masyarakat untuk memperhatikan alamnya.
Tadinya aku berpikir bahwa
ini adalah pengalaman dan akhir dari kegiatan yang akan aku geluti untuk
mengabdikan diri kepada masyarkat Indonesia pada uMumnya, tapi melihat kondisi
bangsaku yang kian carut-marut. Aku berharap bahwa kedepannya aku sebagai
generasi Indonesia bisa berkontribusi
lebih kepada bangsa ini untuk hal-hal yang lebih besar dan lebih bermanfaat
lagi. Kini aku tahu, bahwa melalui kegiatan pengabdian ini. Aku kini telah belajar
untuk lebih peduli sekaligus prihatin terhadap keadaan yang kian melanda
bangsa-negaraku yang kian multidimensional. Terima kasih kepada Pemerintah yang
semakin membikin penulis untuk semakin mencintai Indonesia, semakin ingin untuk
berbuat banyak dan lebih untuk masyarakat Indonesia, semakin ingin mengabdi
untuk membuat Indonesia lebih baik lagi. I love Indonesia a Lot, salam bahari,
salam maritim, jalesveva jayamahe. Indonesia satu, jayalah Indonesiaku, jayalah
bangsaku.